Skip to content

NANDONG

November 23, 2010

AKU  ingin bercerita tentang seseorang dari masa kecilku. Seseorang yang membuatku beroleh paham tentang kesetiaan, kekejaman, nasib yang buruk dan kebahagiaan yang berkuasa atas manusia. Aku ingin bercerita tentang Nandong, perempuan dari masa kecilku.

Kata Ibu, janganlah  menggoda Nandong, sebab ia orang tua yang harus dihormati, meski ia berjalan doyong  seolah hendak rebah ke belakang oleh pinggul yang membusung, meski ia juling dan dari gelung rambutnya  meruap tengik tajam minyak kelapa yang tercium bahkan  dari jarak lima langkah.

Ibu selalu mengulang nasihatnya, setiap kali  melihatku mengintip dari jendela, dengan hidung menempel pada kaca, menyaksikan Nandong di kebun kelapa seberang berjibaku menyeret pelepah nyiur kering. Sedemikian dekat jarak jendela dan kebun seberang, sehingga aku bisa menyaksikan jengit wajah Nandong dan bibirnya yang terkatup menghimpun tenaga sekuatnya. Dari kebun seberang Nandong tak bisa melihat kami, sebab kaca jendela rayban membuat pandang hanya jernih searah.

Read more…

Di Upacara Bendera, Jadi Apakah Engkau?

May 15, 2010
Sebelumnya saya ingin bertanya kepada Anda yang berada di Indonesia: masihkah upacara bendera eksis di sekolah? Masihkah diadakan tiap senin?

Saya tiba-tiba teringat upacara bendera di saat hari berkabung nasional di Belanda. Selama sepuluh menit semua warga diminta diam, mengheningkan cipta untuk para pahlawan Belanda yang gugur di masa perang dunia ke-2. Saya, yang jelas tak punya kepentingan apa-apa dengan ‘pahlawan belanda yang gugur’, mendapatkan isyarat untuk diam dari Ralf, teman saya, saat dia dengan khusyu berdiam diri de depan pesawat teve.

Saya waktu itu tengah sibuk bernyanyi-nyanyi (lagu Kuch-kuch Hotha Hai, seminggu itu saya digoda oleh kenangan akan film India). Jadi saat Ralf mendesis menyuruh saya diam dan mengheningkan cipta, saya merasa sedikit terganggu.

Harap dicatat, Ralf berkebangsaan Jerman. Jadi, tuduhan saya kepadanya saat mengheningkan cipta selesai: engkau memang patut dan harus mengheningkan cipta. Kakek atau ayahmu dulu barangkali salah satu dari mereka yang membantai orang Belanda.

Ralf menggumamkan kata semacam ‘dasar Indo’ atau ‘dasar barbar’. Saya tak peduli.
Read more…

KTP, Kolom Agama, dan Alfatihah

March 16, 2010

Sebab saya pendatang di sini, dengan bahasa Belanda yang ala kadarnya yang penting kenyang, dan keharusan untuk berbaur dengan penduduk asli untuk bisa bertahan, maka banyak hal dalam proses melebur secara sosial yang membuat saya nyaris makan hati.

Orang Belanda, sangat menyukai sosialisasi. Bagi mereka, pesta, pertemuan, perjamuan adalah ajang mengasah kecerdasan (bersosialisasi konon juga termasuk dalam kategori penting penentu cerdas tidaknya seseorang secara keseluruhan).
Read more…

Rambut Kami: Model Tentara Bugis dan Amrik

January 28, 2010

Tukang Cukur. Foto oleh Yato.

Saat sisir tak lagi mulus meluncur di saat rambut masih basah, saya mafhum telah tiba waktunya untuk memangkas rambut.

Rambut saya tergolong rambut yang cukup ‘percaya diri’. Ia mengumumkan diri bila tiba saatnya untuk dipangkas. Bila telah cukup panjang, Ia akan mengikal, jalin menjalin, bergumpal-gumpal. Di Indonesia, teman-teman yang cukup tega hati menyebutnya ‘krinyol’ (keriting menyolok)

Kalau sudah begini saya akan menelepon Hizihair, salon rambut langganan saya, membuat janji, lalu berangkat ke bilangan Harlemeerstraat. Dan sebelum cap pria metroseksual mampir ke jidat saya, saya harus membuat klarifikasi. Hizihair tergolong salon yang tak mewah, tak mahal dan saya memilihnya sebab di dompet saya terselip kartu diskon untuk Hizihair.

Jadi pembaca yang menuduh saya pria metroseksual, maaf Anda salah. Saya bukan pria metroseksual. Hanya seorang pria metromini yang kebetulan harus berhemat.

Tapi Hizihair ini made in Belanda. Saya ingin bercerita tentang ihwal memotong rambut di tanah air, di masa kecil saya, di kota kecil Watampone, di pelosok Sulawesi. Read more…

Insiden Pisang Ijo di Tengah Malam yang Bikin Penasaran atau The Curious Incident of the Green Banana in the Night-Time

November 13, 2009
P1090730

pisang ijo plus ketjiput dengan segala kelemahannya

Saya tak pernah membayangkan membuat pisang ijo akan serepot ini. Hanya berawal dari keinginan menikmati pisang ijo dan iming2 dari Dini aka Kaka Tiwi, saya bertekad hendak menghadirkan pisang ijo di apartemen saya. Pikir saya, tak akan sulit. Saya menyukai memasak, dan biasanya tak menemui kesulitan berarti.  Dan pisang berbalut adonan hijau dan fla putih kental beraroma vanila bagi saya sepertinya bukan tantangan kelas berat.

Tapi ternyata saya keliru.

Read more…

Kerbau Putih dan Perempuan yang Membasuh Tubuh di Hari Subuh

November 1, 2009

kerbau putih

Putri Kusta

Maka fajar yang dini dan lemah menciptakan bayangan serupa tinta hitam yang meruah di jalan setapak yang membelah hutan. Inilah hutan terindah yang bisa engkau bayangkan. Jalan setapak seumpama raga ular yang berkelok-kelok dipagari bentang pepohonan yang menjulang. Pepohon itu, adakah mereka lebih tua dari masa? Hitam pada batang-batang yang tegak lurus menuju langit adalah sebenar-benarnya hitam. Tapi hijau paku dan liana yang membeliti pepohonan itu, juga adalah hijau yang paling hijau. Hitam yang kelam dan hijau yang menyegarkan. Kesepian dan kehidupan bersenyawa dalam ruang yang sama.

Read more…

Wanita Mulia Berumah Di Surga (Bagian 1)

October 30, 2009

_Angel____Freedom

1. Mariana Bangkit dari Kubur

Tepat pada malam hari keempat puluh tujuh, saat dunia tengah berharap-harap cemas menanti kabar terakhir dari Paus yang tengah gering, Mariana memutuskan untuk bangkit dari kubur. Ia menyingsingkan kafan penutup tubuhnya, lalu mulai merangkak naik. Mariana menjebol kuburannya sendiri dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Lantas adegan yang tercipta saat tanah kuburan yang telah bertembok tiba-tiba bengkah berbarengan dengan amblasnya nisan ke dalam tanah,  semestinya hanyalah ada dalam film-film horor lokal. Tapi ini bukan adegan dalam Sundel Bolong di mana seorang perempuan hamil yang tewas penasaran bangkit untuk menuntut balas. Sama sekali bukan. Ini adalah kebangkitan dari kubur seorang perempuan yang tidak sedang mengandung saat meninggal, meski beberapa minggu lewat baru saja melahirkan janin beku dan biru. Ini kematian seorang perempuan terhormat, seorang istri dan ibu teladan. Kematiannya wajar dan jamak serupa kematian ahli-ahli fikir. Ia tidak mati penasaran. Ia mati sesuai dengan prosedur baku. Sakit, sekarat dan mati. Di ujung hayatnya, ia meninggalkan petuah dan nasehat untuk suami dan kelima anaknya. Ia mangkat secara baik dan benar.

Read more…

Asu Panting

October 29, 2009

Black_Wolf_by_SolStock

Ia berumur tujuh tahun saat pertama kali ia mendengar tentang dongeng Asu Panting. Saat itu ia benar-benar takjub dan terpesona. Ia mendengarkan tutur ibunya tentang dongeng hewan yang membawa bala itu dengan mulut setengah terbuka. Ia tengah berada di dapur, duduk di lantai bilah bambu menghadapi sepiring nasi jagung, sayur bayam, sejumput garam dan jelantah. Hari itu, juga banyak hari-hari lainnya,  tak ada lauk yang terbeli. Kerap kali ia merajuk bila tak menemui sekerat ikan di piringnya. Lalu ibunya segera mendongeng. Ibunya harus mendongeng lantaran tak ingin perhatian anak perempuannya tertuju pada piring yang polos oleh lauk. Ia tidak tahu itu.

Maka ia mencamkan kata-kata ibunya:

Berhati-hatilah bila ia datang. Sebab ia membawa mala dan bala, dan wabah yang melela. Ia anjing yang tak berekor, dengan sepasang kaki depan yang seperti tertekuk-sebab itu ia berjalan tungging-, moncong yang terlalu tirus, sepasang kuping tercuat, maka bila kau bersirobok dengannya teringatlah kau pada  kalong. Ia pun tak melolong. Hanya mendesirkan napas kasar seperti sembur kuda kecapaian. Serupa kalong ia bersidekap dengan gelap, tak pernah berani menatap matari. Tapi bila kau melihatnya saat hari terang, awaslah. Telah ia tinggalkan negeri bayangan, maka celakalah bagi kaum manusia di negeri terang. Hitam bulunya menyembunyikan nasib yang buruk bagi kampung yang ia datangi.

Read more…

Sebab Ibunya Melarangnya Menangis

October 29, 2009

man_cries

Si anak lelaki, kuat dan perkasa, terlahir dari karang. Seperti ini kejadiannya: bebatu yang mengarang, retak yang retas lalu mengelupas, dan hopla, lahirlah si anak lelaki. Sementara si anak perempuan, putih dan lembut, muncul dari buih laut yang mengambang dan terayun di pesisir.
–Dongeng seorang ibu kepada anaknya

Ia tak pernah menangis. Dari sekian banyak larangan ibunya, perintah untuk tak sekalipun menitikkan air mata-lah yang paling membekas di ingatannya, seperti luka yang meninggalkan jaringan parut di dalam benak. Ia mengagumi ibunya. Perempuan tangguh tanpa air mata dengan berhelai-helai uban di puncak kepala, dengan bibir tipis bagai garis –entah mengapa bibir ibunya teramat sukar melengkungkan senyum-. Dahulu, saat uban-uban itu tak ada dan bibir ibu masih merah oleh pewarna, ia sering memandang ibunya dengan tatapan penuh kekaguman. Ibu, dengan sepatu hitam bertumit yang berdetak-detak, muncul di ambang pintu, seolah dimuntahkan oleh sedan hitam berkilat, selalu datang tepat di pukul lima sore, menanyakan ini itu pada bibi pengasuh, lalu kemudian mengangkatnya dari buaian, atau kereta, bergantung di mana ia berada saat itu.

Read more…

Undangan Pesta

February 8, 2008

party.jpg

Hari ini saya mendapat undangan pesta. Dua sekaligus. Pertama dari rekan sejawat. Orang Vietnam. Namanya Hang. Karena saya seharian tak berminat mengangkat telepon, undangannya terdampar di voicemail saya. Saya cermat mendengarkan. Ia berulang tahun dan ingin mengadakan pesta. Haruskah saya datang?

Tapi saya merasa tak ingin datang. Dari dulu saya tak pernah suka pesta. Bising. Dan karena ia bernama PESTA maka semua harus riang gembira, semua harus bersenang-senang. Saya tak suka dengan keharusan riang gembira dan bersenang-senang. Terlebih lagi saya tak suka keramaian, bertemu dengan banyak orang yang sebagian besar tak saya kenali, keharusan untuk menyapa banyak orang. Kalaupun saya mau datang ke pesta, saya ingin punya kebebasan. Tak harus memasang wajah ceria dan senyum seterang-benderang mungkin, tak perlu menyapa orang, tak perlu berbaur, tak perlu ruwet memikirkan bingkisan (kalau saya harus membawa bingkisan). Kalau perlu saya cuma mau datang, duduk di pojok, mengamati pengunjung, sembari menghitung-hitung berapa banyak senyum palsu dan basa-basi yang benar-benar basi diobral di dalam pesta. Saya tak suka dengan segala seringai (pura-pura) gembira dan ucapan tak tulus seperti itu.

Read more…