Skip to content

Wanita Mulia Berumah Di Surga (Bagian 1)

October 30, 2009

_Angel____Freedom

1. Mariana Bangkit dari Kubur

Tepat pada malam hari keempat puluh tujuh, saat dunia tengah berharap-harap cemas menanti kabar terakhir dari Paus yang tengah gering, Mariana memutuskan untuk bangkit dari kubur. Ia menyingsingkan kafan penutup tubuhnya, lalu mulai merangkak naik. Mariana menjebol kuburannya sendiri dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Lantas adegan yang tercipta saat tanah kuburan yang telah bertembok tiba-tiba bengkah berbarengan dengan amblasnya nisan ke dalam tanah,  semestinya hanyalah ada dalam film-film horor lokal. Tapi ini bukan adegan dalam Sundel Bolong di mana seorang perempuan hamil yang tewas penasaran bangkit untuk menuntut balas. Sama sekali bukan. Ini adalah kebangkitan dari kubur seorang perempuan yang tidak sedang mengandung saat meninggal, meski beberapa minggu lewat baru saja melahirkan janin beku dan biru. Ini kematian seorang perempuan terhormat, seorang istri dan ibu teladan. Kematiannya wajar dan jamak serupa kematian ahli-ahli fikir. Ia tidak mati penasaran. Ia mati sesuai dengan prosedur baku. Sakit, sekarat dan mati. Di ujung hayatnya, ia meninggalkan petuah dan nasehat untuk suami dan kelima anaknya. Ia mangkat secara baik dan benar.

Makam yang telah tertembok rapi dan bagus itu pun jebol berantakan bagai termeriam. Mariana melayang naik,  kini telah berdiri di samping makamnya sendiri. Sejenak ia merasa sayang telah menjebol kuburannya yang apik dan permai. Pasti mahal, pikir Mariana. Kak Saut pasti telah banyak mengeluarkan uang untuk kuburannya. Lihatlah,  marmer merah jambu yang kini bersisa puing. Merah jambu warna kesukaannya, Kak Saut tahu itu. Dan ada sesuatu yang terukir di pelat pada batu nisannya yang kini terguling.

Ia mendekat, berlutut, membalik nisan yang terguling. Ia dapati nisannya berukir epitaf indah keemasan. Deretan huruf yang seketika membuatnya terharu biru.

Terbaring dengan tenang, istri tercinta dan ibu terkasih

Wanita mulia yang  berumah di surga

Mariana AS

Lahir 1 Januari 1968

Wafat 14  Februari  2005

Maka Mariana merasa dadanya menghangat. Lihatlah, lihat. Kak Saut tak melupakannya. Kak Saut mencintai dan memuliakannya. Epitaf indah ini adalah buktinya. Maka kelirulah engkau wahai malaikat penjaga kubur!

Ada yang berdesir di belakangnya. Mariana berbalik. Di bawah cahaya bulan ia dapati si malaikat penjaga kubur mengapung dan  berpendar di atas sebuah makam. Dengan sepasang sayap serupa dua bentang kepak angsa (putih lembut demikian bercahaya!), si malaikat tampak teduh dan indah. Mariana menelan ludah sebelum berujar. “Aku rasa kau keliru.”

Si malaikat melayang mendekat tak menjejak. “Jangan bilang kau berubah pikiran, Mariana.”

“Tapi lihatlah,” Mariana menuding makam dan nisannya yang porak poranda, “suamiku jelas mencintaiku. Sebab untuk apa ia membangun nisan merah jambu kalau bukan karena cinta untukku?”

“Karena sebentuk makam dan nisan merah jambu kau pikir suamimu benar mencintaimu?”

“Tulisan di nisan itu….”

Si malaikat tertawa. Sayapnya terguncang-guncang. Beberapa lembar bulu putih melayang jauh dan lenyap menjadi cahaya yang sebentar.

“Mariana, Mariana. Semikian percaya engkau pada suamimu? Tidakkah engkau mengingat segala hal yang kita bicarakan bersama saat kau masih di liang kubur?”

“Aku ingat, tapi kau bisa saja keliru.”

“Aku boleh keliru. Tapi waktu itu kau sendiri juga mulai sangsi. Kau sendiri yang memutuskan untuk bangkit dan membuktikan semua ucapanku. Aku hanya memberimu tawaran. Ingat itu.”

Mariana terdiam. Empat puluh tujuh hari yang lalu saat upacara pemakamannya telah usai, ia ingat saat itu berbaring dalam liang lahatnya dengan harap-harap bahagia. Ia telah mangkat, dan ia bisa mendengar bunyi terompah para pelayat satu persatu beranjak meninggalkan makamnya. Lahat yang gelap tak buatnya cemas. Keyakinannya membuatnya penuh percaya diri menghadapi alam kubur. Ia seorang hamba yang baik dan Tuhan pasti kasih padanya. Ia tak pernah lupa bersembahyang. Ia berusaha tak menyakiti orang lain atau mahluk lain. Jika pun ia alpa dan hilaf, sebisa mungkin ia akan beroleh maaf dari sesiapa yang ia sakiti. Tapi di atas segalanya ia adalah istri dan ibu yang baik. Kak Saut selalu memujinya sebagai istri yang saleh dan taat.

Kata Kak Saut, ia adalah istri yang sempurna. Istri yang baik adalah istri yang senantiasa taat dan berbakti pada suami, mendidik anak, menjaga kehormatan diri, memelihara kerukunan dan keharmonisan rumah tangga, dan sebisa mungkin dengan sekuat tenaga berusaha menyenangkan suami.

Taat berbakti dan berusaha menyenangkan suami ternyata berkonsekuensi pada banyak hal. Mariana sadar benar itu. Tapi cinta Tuhan ada pada cinta suami. Mariana ingat, suaminya selalu berkata bahwa seandainya tak terbentur pada dosa sirik, Tuhan akan perintahkan para istri untuk bersujud dan menyembah suami. Selama hidup Mariana berupaya sekuat tenaga untuk menjadi hamba yang baik, istri yang sempurna, menyenangkan, dan dikasihi suami. Maka Tuhan pun akan kasih padanya. Mariana masih mencamkan semua itu saat berbaring dalam kegelapan liang lahat menunggu tibanya para malaikat. Menanti, dengan ketenangan seorang hamba yang saleh.

* * *

Lalu saat sesosok malaikat itu (Mariana tak habis pikir sebab setahunya mereka harus datang berdua) datang mengambang dan lahat tiba-tiba melapang, Mariana terpesona beberapa saat oleh keindahan rupa sang malaikat. Tapi ia sadar dan  telah bersiap.  Inilah masa tanya jawab dan Mariana telah bersiap dengan segenap kunci jawaban.

Cepat lugas ia jawab segala pertanyaan dengan tuntas. Persis seperti yang dibayangkannya. Segala jawab atas pertanyaan telah berada di ujung lidahnya dan hanya perlu meloncat keluar saat pertanyaan datang mengundang. Si malaikat mengangguk-angguk, berdehem sejenak, lantas kemudian melayang berputar mengelilinginya.

“Sempurna.”

Mariana tersenyum puas. Mengucap syukur dalam hati.

“Tapi kita lupakan pertanyaan-pertanyaan bodoh tadi. Aku penat harus menanyakan hal yang sama berulang-ulang pada setiap yang mati. Menjemukan!”

Mariana, perempuan saleh yang kini mangkat, terkesiap. Ini tak ada dalam referensinya. Tak pernah diketahuinya ada malaikat yang mengaku bosan. Bukankah telah menjadi tugasnya? Bukan malaikat adalah mahluk yang paling taat? Bukankah mereka maksum dan suci…

“Ya, ya, ya. Aku tahu apa yang ada dalam dipikiranmu. Bahwa kami diciptakan tanpa cacat dan selalu penuh pengabdian. Bahwa kami serupa robot dengan program maha sempurna,” Si malaikat tertawa kecil, berputar lagi, menatap Mariana yang melongo. “Tapi sudahlah. Sekarang lebih baik kau ceritakan tentang hidupmu. Hidup kamu sendiri.”

“Hidup saya?”

“Ya. Hidup kamu. Tepatnya, apa yang telah kau lakukan dalam hidupmu.” Si malaikat menatap Mariana tepat di manik matanya.

Mariana mengerutkan kening. Lagi-lagi tak pernah terlintas dalam benaknya pertanyaan semacam itu akan terarah padanya di alam kubur. Tapi ia menurut juga. Terbata-bata ia bercerita. Dalam sendat ia katakan jika ia adalah ibu yang baik. Berusaha ia utarakan kalau ia adalah istri yang sempurna tanpa cela. Ia patuh pada suami tanpa prasyarat, tanpa pamrih. Ialah istri dan ibu dengan huruf kapital dan tanpa kesalahan besar.

Si malaikat mengangguk-angguk. “Apa lagi?” tanyanya.

Mariana menelengkan kepala. Apa lagi? Apa lagi? Cuma itu. Ya, cuma itu. Mendadak ia tersadar jika kisah hidupnya hanya berkisar dan terhenti pada hal yang itu-itu saja. Menjadi istri dan ibu yang baik. Kisah hidupnya terangkum hanya pada beberapa kalimat sederhana, betapa ia adalah pengabdi yang baik bagi keluarga. Mariana diam-diam merasa gamang.

“Sudah selesai,”  katanya terus terang.

Si malaikat mendengus tiba-tiba. “Hanya itu? Kau berpikir itu sudah cukup?” Ia melayang berputar  mengelilingi Mariana.

“Tapi bukankah itu yang tertera di kitab suci? Juga ujaran-ujaran itu? Bukankah Tuhan menginginkan hal seperti itu? Bahwa seorang istri harus patuh pada suami? Cukup dengan itu dan ibadah kepada Tuhan pintu surga melapang untuk wanita?” Mariana berputar mengikuti malaikat yang mengapung berkitar.

Si malaikat tertawa melengking. Sayapnya berkepak-kepak. Cahaya berkeredapan di mana-mana oleh bulu-bulu yang berjatuhan dan melenyap.

“Mengapa? Mengapa segalanya harus terserah suamimu? Mengapa menghambakan hidupmu hanya pada suamimu? Engkau juga manusia, sama seperti suamimu. Tidakkah engkau juga punya kehidupan, cita-cita, impian?”

“Hidup saya adalah mengabdi pada suami dan keluarga.” Mariana bersikukuh.

“Dan siapa yang mengatakan harus seperti itu?”

“Aku mau seperti itu….”

“Benar?”

Mariana tergeragap sebelum menjawab. “Y-ya, ya. Pula di kitab suci, sabda orang-orang suci…”

Si malaikat mengibaskan tangan dengan tampang jemu. “Aku tidak bertanya tentang apa yang kau baca atau dengar, atau apa yang kau percaya. Aku tanyakan apa yang kau mau.”  Si malaikat menggamit udara, dan sekonyong-konyong di tangannya tergeber sebuah kitab besar. Si malaikat membuka lembar demi lembar dengan rupa tak sabar.

“Di sini dikatakan, kau tak boleh ke luar rumah tanpa seizin suamimu. Benar begitu?”

“Ya, tapi….”

“Kau punya beragam keterampilan. Kau dahulunya seorang guru.”

“Ya. Tapi saya memutuskan untuk menjadi guru bagi anak-anak saya sendiri.”

“Tapi kau sering merindukan murid-muridmu. Benar, kan?”

Mariana terdiam.

“Lalu kau tak boleh menerima tamu lelaki tanpa seizin suamimu. Benar begitu?”

“Tentu saja. Tapi…”

Si malaikat memintas tak sabar. “Lalu kau juga harus mengatakan iya terhadap hasrat suamimu, sebab adalah kewajiban untuk tunduk terhadap gairah suami, benar begitu?”

Mariana merapatkan geraham. Ia tersinggung. Pikirnya, masalah tempat tidur tak semestinya diseret masuk.

“Juga kau tak boleh memakai kontrasepsi lantaran suamimu melarang, meski kau telah punya anak lima dan kau punya penyakit yang membuat setiap kehamilanmu bagai sebuah perjudian dengan  maut?”

Mariana bungkam. Ia ingat bayinya yang biru. Ia ingat betapa ia harus terus menerus hamil dan melahirkan. Demi umat, kata Kak Saut. Ia ingat olok-olok tetangga yang mengatakan dirinya bagai pabrik bayi.

Si malaikat menatap Mariana. Pandangannya mengendur dan berubah iba. “Mengapa semua harus terserah suamimu? Bahkan tubuhmu sendiri pun bukan lagi milikmu. Mengapa? Mengapa nasib dan bahkan keinginanmu tak lagi sepenuhnya menjadi hakmu? Engkau manusia, dengan segenap keluhuran dari Tuhan. Tak pantas menjadi budak suamimu, budak segala perangkat aturan, sampai menistakan harkatmu sendiri.”

Mariana mulai kesal. Sesaat lenyap segala kekagumannya pada rupa si malaikat.  “Kamu,” tudingnya, suaranya meninggi mendekati ambang tangis. “Malaikat atau iblis? Kenapa segala yang kau katakan menyalahi aturan baku?!”

* * *

Di tepi makam yang poranda, Mariana tercenung. Ia ingat, percakapan panjang dan panas dalam lahat berujung pada keputusan bahwa ia harus bangkit dari kubur dan menemui suaminya. Lewat interogasi oleh si Malaikat, ia harus bangun dari kematian, untuk mendapati kenyataan. Kata si Malaikat, kehidupannya habis tercuci oleh suaminya dan ajaran-ajaran untuk kepentingan suaminya. Saut suaminya tanpa lelah menyuapinya dengan segala macam ajaran untuk melestarikan kepatuhannya sebagai seorang istri. Ia adalah istri tapi juga boneka bagi Saut, suami sekaligus pemilik, dan saatnya ia harus menuntut apa yang ia dapat dari  termiliki dan kepatuhan sepanjang hayat.

Untuk itu ia harus bangkit. Dan dengan karunia kekuatan dari si Malaikat, telah ia jebol lahat berikut tembok makamnya. Kini di bawah kerlip bintang dan gelap langit, Mariana berdiri di tepi makam dengan tubuh telanjang.

“Mariana, kau harus pergi sekarang.” Si Malaikat mendekat dengan sorot mata ganjil, separuh iba separuh penuh tekad. “Temui suamimu, di selatan kota tepat di perbatasan. Ada villa di sana.  Dengan karunia dariku kau bisa tiba di sana secepat yang kau mau. ”

“Aku ingin pula menemui anak-anakku.”

“Tak bisa. Kebangkitanmu bukan untuk anak-anakmu. Tapi untuk segala hutang piutang hidupmu. Temui suamimu. Dan perkara hidupmu akan terang benderang.”

* * *

Dan di sinilah Mariana. Berdiri di depan pagar villa di luar kota. Tangannya mencengkeram besi teralis pagar. Gembok pagar telah ia retaskan sejak tadi. Ia lihat mobil Saut suaminya parkir di depan gerbang. Sejenak kerinduan pada suaminya membuatnya tertegun-tegun. Kata si malaikat, suaminya ada di dalam. Kata si malaikat, ia akan menemukan kenyataan yang sebenarnya.

Ada yang bergerak di balik tirai di ruang tamu. Itu Kak Saut, suaminya. Sedang berbicara dengan seseorang. Tengah malam begini?

Mariana memicingkan mata. Sosok suaminya yang tengah berbicara dengan seseorang di ruang tamu membuatnya urung mendorong pintu pagar. Mariana memicing, penglihatannya ia lipatgandakan,  menembus tembok dan tirai.

Di ruang keluarga ia menyaksikan Saut suaminya tengah duduk, demikian rileks dan seorang perempuan duduk di di sampingnya. Malam-malam begini Kak Saut menerima tamu perempuan? Mariana yakin perempuan itu bukan sanak famili suaminya. Ia tahu seluruh sanak famili suaminya. Lantas mengapa ia ada di situ?

Mariana melihat suaminya mengangguk-angguk sambil berdehem-dehem.

“Kita toh tidak perlu terburu-buru.”

“Tapi kapan? Aku cuma minta waktu yang pasti.”

“Sabarlah. Tunggu sampai anak-anak mengerti.Mereka…”

“Tugas Kakaklah yang membuat mereka mengerti.” Si perempuan memintas cepat.

Di luar, dalam kegelapan malam, Mariana semakin penasaran. Perempuan itu memanggil suaminya dengan sebutan Kakak. Tapi siapa dia?

“Aku tak enak pada keluarga mendiang istriku.”

“Bukankah kau kini bukan bagian dari mereka? Bahkan dulu, kau pernah berpikir untuk mengawiniku dan saat itu istrimu masih ada. Kata Kakak, beristri rangkap tak dilarang…”

“Ya, ya, Tapi…”

Kata Kakak waktu itu, Kakak akan membujuknya. Kata Kakak, Kakak bisa beralasan kalau Kakak tak puas dengan dia, dan berkehendak mengambil aku sebagai istri lain. Kata Kakak lagi, istri Kakak pasti akan mengijinkan. Sekarang saat ia sudah tak ada, apa lagi yang kau tunggu? Aku capek main belakang terus-terus. Sudah tiga tahun! Sudah tiga tahun, Kak!”

“Tapi kau istriku….”

“Iya, tapi disembunyikan terus mene…”

“Dengar, dengar! Kau istriku. Dan kau telah kunikahi. Akad telah kuikrarkan. Pernikahan kita halal. Cukuplah Tuhan jadi saksi. Sebagai suami telah kupenuhi segala kewajibanku. Kau tak kekurangan sandang pangan papan. Rumah ini kubangun untukmu. Jadi diam dan bersikaplah sebagai istri yang baik!”

Beberapa saat si perempuan benar-benar terdiam. Lalu berujar lirih, “Aku cuma ingin Kakak mau membawa saya ke keluarga Kakak, ke orang-orang, memperkenalkan saya sebagai istri Kakak. Tidak terus menerus sembunyi dalam status sebagai istri simpanan.” Perempuan itu mulai terisak.

Di luar Mariana terpana dengan perasaan koyak. Jadi inilah kenyataan itu! Kepasrahan dan kepatuhannya terbayar dengan penghianatan. Ia merasakan dadanya ngilu. Telinganya berdenging. Mariana nyaris terduduk oleh tungkai yang mendadak lemah. Teralis kian tercengkeram kuat, kini sebagai penopang. Di dalam di lihatnya suaminya merentak bangkit, sejenak berujar pada si perempuan yang terduduk diam sembari mengusap mata.

Kini ia melihat suaminya melangkah keluar dan berjalan terburu-buru. Ia melayang,  menyembunyikan diri dalam gelap rimbun perdu tetamanan di pekarangan.

* * *

Dalam terpaan gerimis, Saut melangkah terburu-buru. Sepatunya berjibaku dengan kecibak air di pekarangan. Jika tak  ada halangan berarti dua puluh menit lagi ia akan tiba di sisi lain kota, tempat seorang perempuan lain menunggu. Ia tersenyum kecil. Perempuan selalu terlalu mudah diperdaya.

Sesuatu bergetar dalam saku bajunya. Ia merogoh ke dalam. Sejenak melihat ke layar telepon selulernya. Tersenyum sejenak lantas mendekatkannya ke telinga.

“Ya. Sebentar lagi aku ke sana.”

“Kamu di mana?”

“Di rumah.” Ia tersenyum.

“Cepat ya? Aku kangen nih,  Yang.”

Ia tersenyum. “Aku juga kangen, Sayang. Sampai nanti.”

“Mmmuach!”

Telepon dimatikan. Tapi senyum di bibirnya masih terpasang. Puas separuh geli. Ia kembali melangkah dan senyum itu seolah meningkahi gegas sol sepatunya  menerpa genangan air. Tapi senyumannya itu lenyap seketika, saat Mariana mendadak melayang muncul dengan kemarahan meluap. Dan jeritan kengerian tak terperi urung membahana, terhenti di tenggorokan, saat tangan Mariana terulur menjemput lehernya.

* * *

Hujan berguntur dan pekat belukar menyembunyikan Mariana yang tengah berjibaku dengan tanah. Mariana menggali bagai kesetanan. Hujan membuat tanah gembur dalam hutan bagai adonan raksasa dengan sepasang lengan Mariana sebagai pengaduk. Mariana terus menggali, mengeduk, mengubur, menimbun, dengan wajah basah oleh hujan dan air mata. Saat sebuah makam selesai berbarengan hujan yang mereda,  langit hanya menyisakan rinai dan guntur.

Kesumat telah lunas. Mariana menyeka wajah, menghapus air dan airmata. Lumpur dan tanah menggambari wajahnya. Selesai sudah. Di atas makam nisan kayu ia tancapkan sepenuh tekad, menembus jauh, jauh  ke dalam, hingga terdengar bunyi gemeretak. Ia pastikan nisan kayu itu menghujam deras menembus badan Saut suaminya nun di dalam liang.

Nisan kini terpasang kokoh meski oleng. Mariana bisa membayangkan tubuh suaminya terbaring dalam timbunan tanah dengan nisan menancap di dada, dan darah yang mengalir keluar bersenyawa dengan tanah.

Selesai semua.

Lantas ia melayang pergi.

Dini hari itu, saat dunia terhenyak menerima kabar kematian Paus, dalam hutan terkucil di pelosok hutan yang penuh belukar beronak, dengkung kodok dan lolong serigala, dengan tangan sendiri Mariana telah tuntas mengubur Saut suaminya. Hidup-hidup.

Sesudahnya, dalam beberapa bulan, di  dusun-dusun sekitar hutan, ramai kabar angin berhembus tentang temuan sebuah makam di tengah kelebatan hutan. Makam dengan jasad lelaki tanpa kafan terkubur serampang. Makam dengan nisan kayu terpacak sembarang. Pada nisan kayu tergores tulisan:

Telah terkubur di sini

Lelaki bajingan tak berhati

Layak dikubur dalam makam tanpa nama

Dalam hutan dengan kawanan srigala…

Makassar-Amsterdam, April 2008

6 Comments leave one →
  1. Ralf permalink
    October 31, 2009 6:06 pm

    nice… just keep on posting…

  2. November 16, 2009 2:36 am

    hmmmm…ballassimi siti…

  3. February 19, 2010 3:38 pm

    imaginasi yang cerdas dan cantik sekali..om..selamat terus berkarya..saya boleh mengcopynya dengan menyebutkan sumbernya? untuk buku saya judulnya: ketika kutemukan sorga..2010..salam mulia

  4. February 20, 2010 6:48 pm

    boleh tahu bukunya tentang apa. mas harry?

Leave a reply to Ralf Cancel reply